BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Desentralisasi
ekonomi telah menjadi pembicaraan dan bahan diskusi yang hangat di Indonesia
sekurangnya sejak 2001. Dua faktor penting yang dapat dianggap sebagai pemicu
munculnya kehendak memilih model desentralisasi tersebut.
Pertama,
secara substansi wilayah Indonesia yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang
besar, budaya yang beragam, dan aspirasi politik yang berlainan tetntu terlalu
sulit untuk dikelola secara sentralistis. Inilah yang menyebabkan
desentralisasi menjadi alternatif yang paling mungkin untuk dipilih sebagai
cara mengurus Indonesia.
Kedua,
perubahan politik yang demikian cepat pada 1997/1998 yang berujung kepada
tumbangnya Rezim Orde Baru menjadi daya dobrak yang sangat luas untuk mengubah
apa pun yang dianggap sebagai Orde Baru, termasuk sentralisasi kekuasaan. Jadi,
agenda desentralisasi yang pertama-tama dipahami sebagai upaya untuk melakukan
detoksifikasi atas semua hal yang berbau Orde Baru sebagai sebuah konsep yang
dengan cara seksama dan matang telah dimengerti secara baik. Kedua faktor
itulah yang kemudian membentuk jati diri desentralisasi ekonomi di Indonesia
tentu dengan segala keterbatasannya.
Desentralisasi
ekonomi di Indonesia yang cenderung mengambil “jalur cepat” daripada “jalur
gradual”. Pilihan itu menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan, termasuk
implikasinya terhadap pembuatan regulasi yang tidak lengkap dan pemahaman antar
aktor maupun antar wilayah yang berbeda-beda. Inilah yang menimbulkan
kegaduhan-kegaduhan dalam implementasi desentralisasi ekonomi, yang sebagian
justru menyuburkan penyakit yang hendak diobatinya, seperti korupsi, kolusi,
dan nepotisme.
Demikian
pula, aparat birokrasi pada level daerah yang diharapkan menjadi agen prima
untuk pelayanan publik malah terperangkap sebagai pemburu rente (rent-seek-ers) akibat otoritas besar
yang dimilikinya.
Disinilah
sebetulnya pengembangan kapasitas (capacity
building), disamping kejelasan regulasi, sangat dibutuhkan untuk
menjalankan desentralisasi ekonomi secara optimal.
Salah
satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi ekonomi adalah persoalan
desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan
bahwa setiap kewenangan yang diberikan kepada daerah harus disertai dengan
pembiayaan yang besarnya sesuai dengan besarnya beban kewenangan tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
dinamika desentralisasi ekonomi?
2.
Bagaimana
pengembangan kapasitas dan tata kelola pemerintahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dinamika Desentralisasi Ekonomi
Sejak
tahun 2001 Indonesia secara formal telah menjalankan desentralisasi
pemerintahan (ekonomi) dengan semangat tunggal memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada daerah untuk mengurus dirinya sendiri, termasuk urusan ekonomi.
Desentralisasi
tersebut sebenarnya merupakan keniscayaan yang harus dijalankan di Indonesia
mengingat luas wilayah dan kondisi geografis yang tidak memungkinkan dikelola
secara sentralistik. Lebih dari itu, sentralisasi pemerintahan (ekonomi) kerap
kali tergelincir dalam kesalahan mengidentifikasi masalah dan jalan keluar di masing-masing
daerah karena pemerintah pusat tidak memilki informasi yang memadai tentang
daerah tersebut.
Masih
banyak argumen lain untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan sentralisasi apabila
tetap diterapkan, seperti ketimpangan ekonomi, isu pemisahan wilayah
(separatisme), dan kelambanan menangani persoalan yang muncul.
Sejak
dasawarsa 1990-an negara-negara di seluruh dunia, tidak terkecuali di negara
maju, disibukkan dengan proyek penataan kembali pengelolaan ekonomi di dalam
negeri. Di negara maju restrukturisasi perekonomian tersebut difokuskan kepada
upaya untuk membangun hubungan keuangan intrapemerintah agar bisa mengimbangi
perkembangan kegiatan ekonomi yang semakin kompleks.
Sedangkan
di negara yang sedang melakoni proses transisi ekonomi, seperti di Eropa Timur
dan Tengah, saat ini sedang giat-giatnya membenahi sistem keuangan pemerintah
daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di luar itu, banyak negara
berkembanglainnya juga berfikir keras untuk melakukan desentralisasi fiskal
sebagai salah satu jalan meloloskan diri dari berbagai jebakan ketidakefesienan
pemerintahan, ketidakstabilan makro ekonomi, dan ketidakcukupan pertumbuhan
ekonomi yang telah menyebabkan negara-negara itu jatuh terperosok akhir-akhir
ini. Proses yang sama setidaknya juga
berlangsung di Indonesia, ketika pada
tahun 2001 telah memaklumatkan perberlakuan otonomi daerah (desentralisasi).
Secara
teoritis, desentralisasi sendiri bisa didefinisikan sebagai penciptaannya badan
yang terpisah (bodieas separated)
oleh aturan hukum (undang-undang) dari pemerintahan pusat, dimana pemerintah
(perwakilan) lokal diberi kekuasaan formal untuk memutuskan ruang lingkup
permasalahan publik. Jadi, disini basis politiknya ada di tingkat lokal, bukan nasional. Dalam pengertian ini meskipun
area otoritas pemerintah lokal terbatas, namun hak untuk membuat keputusan
diperkuat memulai undang-undang dan
hanya dapat diubah melalui legaliasasi baru (Mawhood, 1983:2).
Dengan
begitu, prinsip desentralisasi tersebut bisa disinonimkan dengan istilah ‘diet’
dalam bahasa kesehatan, yakni untuk mengurangi obesitas akut yang diderita oleh
sebuah negara. Obesitas tersebut terpantul dalam wujud jumlah penduduk yang
besar, wilayah yang teramat luas, dan ragam multikultur masyarakat yang sangat
variatif. Dengan desentralisasi diharapkan kemampuan pemetintah daerah untuk
memanajemen pembangunan menjadi lebih lincah, akurat, dan cepat.
Dalam
literatur ekonomi, percepatan dan intentitas desentarlisasi bisa dikerjakan
dengan merunjuk dua model berikut. Pertama,
mengaktuubah secara drastis watak sentralisasi pengelolaan negara dan
mengimplementasikannya dalam tempat singkat (schock therapy approach). Model
ini dipercaya ampuh untuk mewujudkan tujuan terapi diiringi dengan banyak
jebakan, misalnya banyak aturan yang tumpang tindih akibat kemampuan yang
berbeda dalam memahami desentralisasi. Juga yang sering terjadi, negara-negara
yang memilih jalur ini banyak yang tergelincir karena kapasitas administrasi/
birokrasi (daerah) yang tidak mampu mengiringi percepatan proses
desentralisasi. Kedua, pemerintah
menjalankan program terpadu dalam rentang waktu dengan cakupan yang terukur dan
terjadwal (gradual approach). Model
ini memiliki kelemahan dalam hal jangka waktu yang agak lama. Tetapi
kelebihanya memberika kepastian dalam jangka panjang.
Kewenangan
pemerintah daerah untuk menyusun prioritas pembangunan ekonomi juga banyak
diserobot oleh pemodal sehingga wajah daerah kian compang-camping. Penggusuran
terhadap para pelaku usaha kecil (sektor informal perkotaan) semakin masif
seiring berjalannya otonomi daerah.
Bagan 1.1 :Kerangka Penilaian Kinerja
Kinerja
Efesiensi
Manajemen
Sumber Daya
Efektifitas
Aksesibilas (accessibility)
Kesesuaian
(appropriateness)
Pencapaian (outcomes)
Mutu (quality)
Sumber
: Dollery dan Wallis, 2001:75
Jika mau menggunakan
parameter paling sederhana bagi keberhasilan desentralisasi adalah dengan
melihat sejauh mana kualitas pelayanan sektor publik dari pemerintah lokal.
Kinerja dari keberhasilan dari pelayanan sektor publik tersebut bisa dilihat
dari dua indikator yakni efesiensi dan efektivitas (Dollery dan Wallis,
2001:74).
Optimisme terhadap
pilihan otonomi daerah, sejatinya dipicu oleh harapan bahwa strategi tersebut
akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk menciptakan kebijakan (ekonomi)
yang lebih sesuai dengan situasi wilayah masing-masing.
Dalam konteks ekonomi
kelembagaan, alat analisis untuk menilai seberapa efisien kelembagaan yang
disusun adalah dengan mengidentifikasi besaran dari biaya transaksi. Dengan
mengetahui sumber daya dari biaya transaksi dapat dirumuskan solusi yang lebih
tepat.
B.
Pengembangan Kapasitas dan Tata Kelola Pemerintahan
Penting
untuk dikembangkan oleh pemerintah (daerah) dalam proses desentralisasi ekonomi
adalah tata kelola (governance) dan
pengembangan kapasitas (capacity building)
untuk menjamin implementasi setiap kebijakan publik yang diciptakan.
Secara
umum isi dari tata kelola dan pengembangan kapasitas diuraikan dalam lima
kategori (Ahrens, 2000:88) :
1.
Credibility/kredibilitas
Hak veto,
mekanisme kontrak, agenda mekanisme pengawasan; pemisahan kekuasaan
2.
Accountability/akuntabilitas
Manajemen sektor
pubik, reformasi dan pengelolaan perusahaan publik/negara, pengelolaan keuangan
publik; reformasi pelayaanan publik
3.
Participation/partisipasi
Desentralisasi
fungsi-fungsi ekonomi, kerjasama pemerintah-swasta, pemberdayaan pemerintah
lokal; kerjasama dengan masyarakat (Ornop)
4.
Predictability/prediktabilitas
Reformasi
regulasi dan hukum; kerangka hukum bagi sektor swasta
5.
Transparency/transparansi
Pengungkapan informasi, kejelasan aturan dan
regulasi pemerintah; keterbukaan proses pengambilan keputusan dan implementasi
kebijakan publik
Konsep tata kelola dan
pengembangan kapasitas daerahtersebut secara spesifikdiarahkan untuk penguatan
ekonomi daerah dengan sasaran empat unsur, yaitu :
1.
Produktivitas (productivity), di mana rakyat harus
mampu setiap waktu meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam
proses pembangunan.
2.
Pemerataan (equality), di mana rakyat harus
mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan (tidak
ada diskriminasi).
3.
Kesinambungan (sustainability), di mana pembangunan
yang dikerjakan bukan cuma untuk memenuhi
kebutuhan sekarang tetapi juga keperluan generasi yang akan datang.
4.
Pemberdayaan (empowerment), di mana pembangunan harus
dilakukan oleh rakyat dan bukan hanya untuk rakyat.
Dalam konteks ini,
menurut Ahrens (1998:5), pertanyaan sentral bukan berapa banyak akan tetapi
apa jenis intervensi negara yang
kondusif untuk pembangunan ekonomi. Dalam hal ini, struktur pemerintahan
mendasari proses pembuatan kebijakan sebagai hal yang penting. Pemerintah
didefinisikan sebagai kapasitas lingkungan kelembagaan di mana warga negara
berinteraksi dengan agen pemerintahan, swasta, dan menentukan pertukaran di
antara warga negara dengan pegawai pemerintah. Struktur pemerintahan sendiri
didasarkan pada institusi formal dan informal.
Suatu struktur
pemerintahan memengaruhi insentif politik, birokrasi, dan agen ekonomi swasta
dalam menentukan pertukaran di anatara warga negara dengan pegawai pemerintah.
Dapat dipahami bahwa
desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi akan berjalan bila faktor
kelembagaannya diurus dengan baik. Pada sebuah negara yang sedang melakukan
proses reformasi, desentralisasi ekonomi bisa dianggap sebagai kelembagaan itu
sendiri. Artinya, desentralisasi dimaknai sebagai ‘rules of the game’
pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah. Berhasil tidaknya
desentralisasi amat tergantung dari desain kelembagaan makro dan mikro yang
dibuat.
Keberhasilan
pembangunan daerah, khususnya dalam era otonomi, sangat dipengaruhi
oleh tiga hal, yaitu : pertama, ketersediaan
sistem informasi yang memuat data dasar tentang kinerja pembangunan di daerah. Kedua, kesiapan daerah untuk mendesain
sistem pengendalian dan pengawasan yang memungkinkan setiap program pembangunan
bisa dijalankan tepat sesuai dengan perencanaan. Ketiga, menciptakan aturan main (regulasi/kelembagaan) yang memberi
ruang bagi seluruh partisipasi pembangunan daerah untuk melaksanakan program
pembangunan berdasarkan prinsip kesetaraan dan kesamaan akses.
Tabel 1.2 : Daftar Prioritas Jenis Pelayanan Publik
No.
|
Sektor
|
Jenis
Pelayanan
|
1
|
Administrasi
Kependudukan
|
1.
KTP
2.
Akta kelahiran
3.
Catatan Sipil
4.
Akta kematian
5.
Akta
nikah/cerai
6.
Kartu keluarga
|
2
|
Kepolisian
|
1.
STNK
2.
Surat Izin
Mengemudi (SIM)
3.
Penyelesaian
laporan pengaduan masyarakat
|
3
|
Perindustrian,
Perdagangan, dan Koperasi
|
1.
SIUP, SITU
Tanda Daftar Perusahaan
2.
Metrologi/tera
3.
Pengujian
hasil industri
4.
Kredit usaha
|
4
|
Bea
Cukai dan Pajak
|
1.
Bea masuk
2.
Cukai
3.
NPWP
4.
Pelayanan
pembayaran pajak
|
5
|
Kesehatan
|
1.
Rumah sakit
2.
Puskesmas
3.
Posyandu
|
6
|
Imigrasi
|
1.
Pengurusan
paspor
2.
Pengurusan
keimigrasian lainnya
|
7
|
Perhubungan
|
1.
Izin usaha angkutan
darat/laut/udara
2.
Pelayanan
bandara/pelabuhan/stasiun/terminal bus
3.
Uji kelaikan
kendaraan bermotor
|
8
|
Ketenagakerjaan
|
1.
Kartu kuning
(pencari kerja)
2.
Informasi
kesempatan kerja
3.
Penempatan
tenaga kerja
4.
Palayanan TKI
di bandara dan pelabuhan laut
|
9
|
Pertanahan
dan Permukiman
|
1.
Pengurusan
sertifikat tanah
2.
Pengurusan
pengalihan hak atas tanah
3.
IMB
4.
Izin lokasi
industri/perdagangan
5.
HO
6.
Amdal
|
10
|
Pendidikan
|
1.
Pendidikan
dasar
2.
Pendidikan
menengah
3.
Pendidikan
lainnya
|
11
|
Penanaman
Modal
|
1.
Izin PMA
2.
Izin PMDN
3.
Informasi
potensi investasi
|
Keterangan :
Data di atas berdasarkan Surat Edaran Menpar Nomor : SE/10/M.PAN/07/2005
tanggal 7 Juli 2005 Tentang Prioritas Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Sumber : Lampiran
Suran Edaran Menteri Negeri Pendayagunaan Aparatur Negara, 2005
BAB III
KESIMPULAN
Dua faktor penting yang dapat dianggap sebagai
pemicu munculnya kehendak memilih model desentralisasi ekonomi, yaitu : Pertama, secara substansi wilayah
Indonesia yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang besar, budaya yang
beragam, dan aspirasi politik yang berlainan tetntu terlalu sulit untuk
dikelola secara sentralistis. Kedua,
perubahan politik yang demikian cepat pada 1997/1998 yang berujung kepada
tumbangnya Rezim Orde Baru menjadi daya dobrak yang sangat luas untuk mengubah
apa pun yang dianggap sebagai Orde Baru, termasuk sentralisasi kekuasaan.
Desentralisasi ekonomi sebenarnya merupakan
keniscayaan yang harus dijalankan di Indonesia mengingat luas wilayah dan
kondisi geografis yang tidak memungkinkan dikelola secara sentralistik. Lebih
dari itu, sentralisasi pemerintahan (ekonomi) kerap kali tergelincir dalam
kesalahan mengidentifikasi masalah dan jalan keluar di masing-masing daerah
karena pemerintah pusat tidak memilki informasi yang memadai tentang daerah
tersebut.