Kamis, 17 Mei 2012

DESENTRALISASI EKONOMI


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Desentralisasi ekonomi telah menjadi pembicaraan dan bahan diskusi yang hangat di Indonesia sekurangnya sejak 2001. Dua faktor penting yang dapat dianggap sebagai pemicu munculnya kehendak memilih model desentralisasi tersebut.
Pertama, secara substansi wilayah Indonesia yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang besar, budaya yang beragam, dan aspirasi politik yang berlainan tetntu terlalu sulit untuk dikelola secara sentralistis. Inilah yang menyebabkan desentralisasi menjadi alternatif yang paling mungkin untuk dipilih sebagai cara mengurus Indonesia.
Kedua, perubahan politik yang demikian cepat pada 1997/1998 yang berujung kepada tumbangnya Rezim Orde Baru menjadi daya dobrak yang sangat luas untuk mengubah apa pun yang dianggap sebagai Orde Baru, termasuk sentralisasi kekuasaan. Jadi, agenda desentralisasi yang pertama-tama dipahami sebagai upaya untuk melakukan detoksifikasi atas semua hal yang berbau Orde Baru sebagai sebuah konsep yang dengan cara seksama dan matang telah dimengerti secara baik. Kedua faktor itulah yang kemudian membentuk jati diri desentralisasi ekonomi di Indonesia tentu dengan segala keterbatasannya.
Desentralisasi ekonomi di Indonesia yang cenderung mengambil “jalur cepat” daripada “jalur gradual”. Pilihan itu menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan, termasuk implikasinya terhadap pembuatan regulasi yang tidak lengkap dan pemahaman antar aktor maupun antar wilayah yang berbeda-beda. Inilah yang menimbulkan kegaduhan-kegaduhan dalam implementasi desentralisasi ekonomi, yang sebagian justru menyuburkan penyakit yang hendak diobatinya, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Demikian pula, aparat birokrasi pada level daerah yang diharapkan menjadi agen prima untuk pelayanan publik malah terperangkap sebagai pemburu rente (rent-seek-ers) akibat otoritas besar yang dimilikinya.
Disinilah sebetulnya pengembangan kapasitas (capacity building), disamping kejelasan regulasi, sangat dibutuhkan untuk menjalankan desentralisasi ekonomi secara optimal.
Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi ekonomi adalah persoalan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan bahwa setiap kewenangan yang diberikan kepada daerah harus disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan besarnya beban kewenangan tersebut.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimana dinamika desentralisasi ekonomi?
2.    Bagaimana pengembangan kapasitas dan tata kelola pemerintahan?




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Dinamika Desentralisasi Ekonomi
Sejak tahun 2001 Indonesia secara formal telah menjalankan desentralisasi pemerintahan (ekonomi) dengan semangat tunggal memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengurus dirinya sendiri, termasuk urusan ekonomi.
Desentralisasi tersebut sebenarnya merupakan keniscayaan yang harus dijalankan di Indonesia mengingat luas wilayah dan kondisi geografis yang tidak memungkinkan dikelola secara sentralistik. Lebih dari itu, sentralisasi pemerintahan (ekonomi) kerap kali tergelincir dalam kesalahan mengidentifikasi masalah dan jalan keluar di masing-masing daerah karena pemerintah pusat tidak memilki informasi yang memadai tentang daerah tersebut.
Masih banyak argumen lain untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan sentralisasi apabila tetap diterapkan, seperti ketimpangan ekonomi, isu pemisahan wilayah (separatisme), dan kelambanan menangani persoalan yang muncul.
Sejak dasawarsa 1990-an negara-negara di seluruh dunia, tidak terkecuali di negara maju, disibukkan dengan proyek penataan kembali pengelolaan ekonomi di dalam negeri. Di negara maju restrukturisasi perekonomian tersebut difokuskan kepada upaya untuk membangun hubungan keuangan intrapemerintah agar bisa mengimbangi perkembangan kegiatan ekonomi yang semakin kompleks.
Sedangkan di negara yang sedang melakoni proses transisi ekonomi, seperti di Eropa Timur dan Tengah, saat ini sedang giat-giatnya membenahi sistem keuangan pemerintah daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di luar itu, banyak negara berkembanglainnya juga berfikir keras untuk melakukan desentralisasi fiskal sebagai salah satu jalan meloloskan diri dari berbagai jebakan ketidakefesienan pemerintahan, ketidakstabilan makro ekonomi, dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi yang telah menyebabkan negara-negara itu jatuh terperosok akhir-akhir ini.  Proses yang sama setidaknya juga berlangsung  di Indonesia, ketika pada tahun 2001 telah memaklumatkan perberlakuan otonomi daerah (desentralisasi).
Secara teoritis, desentralisasi sendiri bisa didefinisikan sebagai penciptaannya badan yang terpisah (bodieas separated) oleh aturan hukum (undang-undang) dari pemerintahan pusat, dimana pemerintah (perwakilan) lokal diberi kekuasaan formal untuk memutuskan ruang lingkup permasalahan publik. Jadi, disini basis politiknya ada di tingkat lokal,  bukan nasional. Dalam pengertian ini meskipun area otoritas pemerintah lokal terbatas, namun hak untuk membuat keputusan diperkuat memulai undang-undang dan  hanya dapat diubah melalui legaliasasi baru (Mawhood, 1983:2).
Dengan begitu, prinsip desentralisasi tersebut bisa disinonimkan dengan istilah ‘diet’ dalam bahasa kesehatan, yakni untuk mengurangi obesitas akut yang diderita oleh sebuah negara. Obesitas tersebut terpantul dalam wujud jumlah penduduk yang besar, wilayah yang teramat luas, dan ragam multikultur masyarakat yang sangat variatif. Dengan desentralisasi diharapkan kemampuan pemetintah daerah untuk memanajemen pembangunan menjadi lebih lincah, akurat, dan cepat.
Dalam literatur ekonomi, percepatan dan intentitas desentarlisasi bisa dikerjakan dengan merunjuk dua model berikut. Pertama, mengaktuubah secara drastis watak sentralisasi pengelolaan negara dan mengimplementasikannya dalam tempat singkat (schock therapy approach). Model ini dipercaya ampuh untuk mewujudkan tujuan terapi diiringi dengan banyak jebakan, misalnya banyak aturan yang tumpang tindih akibat kemampuan yang berbeda dalam memahami desentralisasi. Juga yang sering terjadi, negara-negara yang memilih jalur ini banyak yang tergelincir karena kapasitas administrasi/ birokrasi (daerah) yang tidak mampu mengiringi percepatan proses desentralisasi. Kedua, pemerintah menjalankan program terpadu dalam rentang waktu dengan cakupan yang terukur dan terjadwal (gradual approach). Model ini memiliki kelemahan dalam hal jangka waktu yang agak lama. Tetapi kelebihanya memberika kepastian dalam jangka panjang.
Kewenangan pemerintah daerah untuk menyusun prioritas pembangunan ekonomi juga banyak diserobot oleh pemodal sehingga wajah daerah kian compang-camping. Penggusuran terhadap para pelaku usaha kecil (sektor informal perkotaan) semakin masif seiring berjalannya otonomi daerah.
Bagan 1.1 :Kerangka Penilaian Kinerja

Kinerja

                                    Efesiensi
                                                            Manajemen Sumber Daya
                                    Efektifitas
                                                            Aksesibilas (accessibility)
                                                            Kesesuaian (appropriateness)
                                                            Pencapaian (outcomes)
                                                            Mutu (quality)

Sumber : Dollery dan Wallis, 2001:75

Jika mau menggunakan parameter paling sederhana bagi keberhasilan desentralisasi adalah dengan melihat sejauh mana kualitas pelayanan sektor publik dari pemerintah lokal. Kinerja dari keberhasilan dari pelayanan sektor publik tersebut bisa dilihat dari dua indikator yakni efesiensi dan efektivitas (Dollery dan Wallis, 2001:74).
Optimisme terhadap pilihan otonomi daerah, sejatinya dipicu oleh harapan bahwa strategi tersebut akan membuat daerah lebih memiliki ruang untuk menciptakan kebijakan (ekonomi) yang lebih sesuai dengan situasi wilayah masing-masing.
Dalam konteks ekonomi kelembagaan, alat analisis untuk menilai seberapa efisien kelembagaan yang disusun adalah dengan mengidentifikasi besaran dari biaya transaksi. Dengan mengetahui sumber daya dari biaya transaksi dapat dirumuskan solusi yang lebih tepat.

B.       Pengembangan Kapasitas dan Tata Kelola Pemerintahan
Penting untuk dikembangkan oleh pemerintah (daerah) dalam proses desentralisasi ekonomi adalah tata kelola (governance) dan pengembangan kapasitas (capacity building) untuk menjamin implementasi setiap kebijakan publik yang diciptakan.
Secara umum isi dari tata kelola dan pengembangan kapasitas diuraikan dalam lima kategori (Ahrens, 2000:88) :
1.      Credibility/kredibilitas
Hak veto, mekanisme kontrak, agenda mekanisme pengawasan; pemisahan kekuasaan
2.      Accountability/akuntabilitas
Manajemen sektor pubik, reformasi dan pengelolaan perusahaan publik/negara, pengelolaan keuangan publik; reformasi pelayaanan publik
3.      Participation/partisipasi
Desentralisasi fungsi-fungsi ekonomi, kerjasama pemerintah-swasta, pemberdayaan pemerintah lokal; kerjasama dengan masyarakat (Ornop)
4.      Predictability/prediktabilitas
Reformasi regulasi dan hukum; kerangka hukum bagi sektor swasta
5.      Transparency/transparansi
Pengungkapan informasi, kejelasan aturan dan regulasi pemerintah; keterbukaan proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik
Konsep tata kelola dan pengembangan kapasitas daerahtersebut secara spesifikdiarahkan untuk penguatan ekonomi daerah dengan sasaran empat unsur, yaitu :
1.      Produktivitas (productivity), di mana rakyat harus mampu setiap waktu meningkatkan produktivitasnya dan berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan.
2.      Pemerataan (equality), di mana rakyat harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan (tidak ada diskriminasi).
3.      Kesinambungan (sustainability), di mana pembangunan yang dikerjakan bukan cuma untuk  memenuhi kebutuhan sekarang tetapi juga keperluan generasi yang akan datang.
4.      Pemberdayaan (empowerment), di mana pembangunan harus dilakukan oleh rakyat dan bukan hanya untuk rakyat.
Dalam konteks ini, menurut Ahrens (1998:5), pertanyaan sentral bukan berapa banyak akan tetapi apa jenis intervensi negara yang kondusif untuk pembangunan ekonomi. Dalam hal ini, struktur pemerintahan mendasari proses pembuatan kebijakan sebagai hal yang penting. Pemerintah didefinisikan sebagai kapasitas lingkungan kelembagaan di mana warga negara berinteraksi dengan agen pemerintahan, swasta, dan menentukan pertukaran di antara warga negara dengan pegawai pemerintah. Struktur pemerintahan sendiri didasarkan pada institusi formal dan informal.
Suatu struktur pemerintahan memengaruhi insentif politik, birokrasi, dan agen ekonomi swasta dalam menentukan pertukaran di anatara warga negara dengan pegawai pemerintah.
Dapat dipahami bahwa desentralisasi sebagai suatu strategi ekonomi akan berjalan bila faktor kelembagaannya diurus dengan baik. Pada sebuah negara yang sedang melakukan proses reformasi, desentralisasi ekonomi bisa dianggap sebagai kelembagaan itu sendiri. Artinya, desentralisasi dimaknai sebagai ‘rules of the game’ pemerintah lokal untuk menangani perekonomian daerah. Berhasil tidaknya desentralisasi amat tergantung dari desain kelembagaan makro dan mikro yang dibuat.
Keberhasilan pembangunan daerah, khususnya dalam era otonomi, sangat   dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu : pertama, ketersediaan sistem informasi yang memuat data dasar tentang kinerja pembangunan di daerah. Kedua, kesiapan daerah untuk mendesain sistem pengendalian dan pengawasan yang memungkinkan setiap program pembangunan bisa dijalankan tepat sesuai dengan perencanaan. Ketiga, menciptakan aturan main (regulasi/kelembagaan) yang memberi ruang bagi seluruh partisipasi pembangunan daerah untuk melaksanakan program pembangunan berdasarkan prinsip kesetaraan dan kesamaan akses.

Tabel 1.2 : Daftar Prioritas Jenis Pelayanan Publik

No.
Sektor
Jenis Pelayanan
1
Administrasi Kependudukan
1.    KTP
2.    Akta kelahiran
3.    Catatan Sipil
4.    Akta kematian
5.    Akta nikah/cerai
6.    Kartu keluarga
2
Kepolisian
1.      STNK
2.      Surat Izin Mengemudi (SIM)
3.      Penyelesaian laporan pengaduan masyarakat
3
Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi
1.      SIUP, SITU Tanda Daftar Perusahaan
2.      Metrologi/tera
3.      Pengujian hasil industri
4.      Kredit usaha
4
Bea Cukai dan Pajak
1.      Bea masuk
2.      Cukai
3.      NPWP
4.      Pelayanan pembayaran pajak
5
Kesehatan
1.      Rumah sakit
2.      Puskesmas
3.      Posyandu
6
Imigrasi
1.      Pengurusan paspor
2.      Pengurusan keimigrasian lainnya
7
Perhubungan
1.      Izin usaha angkutan darat/laut/udara
2.      Pelayanan bandara/pelabuhan/stasiun/terminal bus
3.      Uji kelaikan kendaraan bermotor
8
Ketenagakerjaan
1.      Kartu kuning (pencari kerja)
2.      Informasi kesempatan kerja
3.      Penempatan tenaga kerja
4.      Palayanan TKI di bandara dan pelabuhan laut
9
Pertanahan dan Permukiman
1.      Pengurusan sertifikat tanah
2.      Pengurusan pengalihan hak atas tanah
3.      IMB
4.      Izin lokasi industri/perdagangan
5.      HO
6.      Amdal
10
Pendidikan
1.      Pendidikan dasar
2.      Pendidikan menengah
3.      Pendidikan lainnya

11
Penanaman Modal
1.      Izin PMA
2.      Izin PMDN
3.      Informasi potensi investasi

Keterangan : Data di atas berdasarkan Surat Edaran Menpar Nomor : SE/10/M.PAN/07/2005 tanggal 7 Juli 2005 Tentang Prioritas Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik

Sumber : Lampiran Suran Edaran Menteri Negeri Pendayagunaan Aparatur Negara, 2005




BAB III
KESIMPULAN

Dua faktor penting yang dapat dianggap sebagai pemicu munculnya kehendak memilih model desentralisasi ekonomi, yaitu : Pertama, secara substansi wilayah Indonesia yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang besar, budaya yang beragam, dan aspirasi politik yang berlainan tetntu terlalu sulit untuk dikelola secara sentralistis. Kedua, perubahan politik yang demikian cepat pada 1997/1998 yang berujung kepada tumbangnya Rezim Orde Baru menjadi daya dobrak yang sangat luas untuk mengubah apa pun yang dianggap sebagai Orde Baru, termasuk sentralisasi kekuasaan.
Desentralisasi ekonomi sebenarnya merupakan keniscayaan yang harus dijalankan di Indonesia mengingat luas wilayah dan kondisi geografis yang tidak memungkinkan dikelola secara sentralistik. Lebih dari itu, sentralisasi pemerintahan (ekonomi) kerap kali tergelincir dalam kesalahan mengidentifikasi masalah dan jalan keluar di masing-masing daerah karena pemerintah pusat tidak memilki informasi yang memadai tentang daerah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar